Selasa, 17 Mei 2016

Makalah sallam dan istishna


                                                                        BAB I
                                                             PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih muamalah islamiah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan bahkan sampai puluhan. Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual beli yang telah dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah yaitu murabahah, as-salam, dan al-istishna’.
Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas resiko serta kegiatan-kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan melalui perpindahan kepemilikan barang. Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi salah satu bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang.
Pada makalah ini akan dibahas jenis pembiayaan salam dan istishna’. Jual beli dengan salam dan istishna’ ini, akadnya sangat jelas, barangnya jelas, dan keamanannya juga jelas. Maka jual beli salam dan istishna’ wajar jika masih banyak diminati.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian As-Sallam dan Istishna ?
2.      Apa rukun dan syarat As-Sallam dan Istishna ?
3.      Apa Perbedaan As-Sallam dan Istishna ?


C.    TUJUAN PEMBAHASAN
Agar pembaca bisa memahami tentang akad As-Sallam dan Akad Istishna secara lebih luas ,serta dapat membedakan keduannya.Karena banyak yang mengatakan bahwa kedua akad ini sama.





                                                                        BAB II
                                                                PEMBAHASAN
A.    AS-SALLAM
1.      Pengertian dan Dasar Hukumnya
Secara bahasa as-salam  atau as-salaf  berarti pesanan. Secara terminologis para ulama mendefinisikannya dengan: “Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu (barang) yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya diserahkan kemudian hari”.[1]
Dalam perjanjian As-Salam ini pihak pembeli barang disebut As-Salam (yang menyerahkan), pihak penjual disebut Al-Muslamuilaihi (orang yang diserahi), dan barang yang dijadikan objek disebut Al-Muslam Fiih (barang yang akan diserahkan), serta harga barang yang diserahkan kepada penjual disebut Ra’su Maalis Salam (modal As-Salam).[2]
Adapun yang menjadi dasar hukum pembolehan perjanjian jual beli dengan pembayaran yang didahulukan ini disandarkan pada surat Al-Baqarah ayat 282:[3]
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya…”
Disamping itu terdapat juga ketentuan hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang artinya berbunyi :
“Siapa yang melakukan salaf, hendaklah melaksanakannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai dengan batas waktu tertentu.[4]
Dari ketentuan hukum diatas, jelas terlihat tentang pembolehan pembayaran yang didahulukan. Pembiayan salam diutamakan untuk pembelian dan penjualan hasil produksi pertanian, perkebunan, dan peternakan. Petani dan peternak pada umumnya membutuhkan dana untuk modal awal dalam melaksanakan aktivitasnya,sehingga bank syariah dapat memberikan dana pada saat akad.Setelah hasil panen,maka nasabah akan membayar salam kembali. Dengan melakukan transaksi salam,maka petani dan peternak dapat mengambil manfaat tersebut.

2.      Rukun As-Sallam
1) Mu’aqidain : Pembeli (muslam) dan penjual ( muslam ilaih)
a.Cakap bertindak hukum ( baligh dan berakal sehat).
b.Muhtar ( tidak dibawah tekanan/paksaan).
2) Obyek transaksi ( muslam fih):
a.Dinyatakan jelas jenisnya
b.Jelas sifat-sifatnya
c.Jelas ukurannya       
d.Jelas batas waktunya
e.Tempat penyerahan dinyatakan secara jelas
3) Sighat ‘ijab dan qabul
4) Alat tukar/harga
a.Jelas dan terukur
b. Disetujui kedua pihak
c. Diserahkan tunai/cash ketika akad berlangsung.

3.       Syarat As-Sallam
a.       Pembayaran dilakukan dimuka (kontan).
b.      Dilakukan pada barang-barang yang memiliki criteria jelas.
c.       Penyebutan criteria barang dilakukan saat akad dilangsungkan.
d.      Penentuan tempo penyerahan barang pesanan.
e.       Barang pesanan tersedia pada saat jatuh tempo.
f.       Barang Pesanan Adalah Barang yang Pengadaannya Dijamin Pengusaha.

4.      CONTOH
Seorang petani memiliki 2 hektar sawah mengajukan pembiayaan ke bank sebesar Rp 5.000.000,00. Penghasilan yang didapat dari sawah biasanya berjumlah 4 ton dan beras dijual dengan harga Rp 2.000,00 per kg. ia akan menyerahkan beras 3 bulan lagi. Bagaimana perhitungannya?
Bank akan mendapatkan beras Rp 5juta dibagi Rp 2.000,00 per kg = 2.5 ton. Setelah melalui negoisasi bank menjual kembali pada pihak ke 3 dengan harga Rp 2.400,00 per kg yang berarti total dana yang kembali sebesar Rp 6juta. Sehingga bank mendapat keungtungan 20%.

B.     ISTISHNA
1.      Pengertian
Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan antara pihak produsen / pengrajin / penerima pesanan ( shani’) dengan pemesan ( mustashni’) untuk membuat suatu produk barang dengan spesifikasi tertentu (mashnu’) dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir.
Secara umum landasan syariah yang berlaku pada bai’ as-salam juga berlaku pada bai’ al-istishna’. Menurut Hanafi, bai’ al-istishna’  termasuk akad yang dilarang karena mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Namun mazhab Hanafi menyutui kontrak istishna’  atas dasar istishan.[5]
Tujuan istishna’ umumnya diterapkan pada pembiayaan untuk pembangunan proyek seperti pembangunan proyek perumahan, komunikasi, listrik, gedung sekolah, pertambangan, dan sarana jalan. Pembiayaan yang sesuai adalah pembiyaan investasi.[6]

2.      Dasar Hukum Istishna
     Hukum transaksibai’ as-salam terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
a. Al-Qur’an
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang tidak di tentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”(al-Baqarah:282)
Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut tentang transaksi bai’ as-salam. Hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau, “saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang di jamin untuk jangka waktu tertentu telah di halalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan di izinkan-Nya.” Ia lalu membaca ayat tersebut diatas.
b. Al-hadits
ﻣﻥ ﺍﺳﻟﻑ ﻓﻲ ﺷﻲ ﻓﻓﻲ ﻛﯿﻝ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ ﻭ ﻭ ﺯ ﻦ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ ﺍ ﻟﻰ ﺍ ﺟﻞ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ
“Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula untuk jangka waktu yang di ketahui”
Dari Suhaib r.a bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk di jual.”(HR Ibnu Majah)
Mengingat Bai’ Al-Istishna merupakan lanjutan dari Bai’ as-salam maka secara umum dasar hukum yang berlaku pada Bai’ as-salam juga berlaku pada Bai’ al-Istishna’.Sungguhpun demikian para ulama membahas lebih lanjut “keabsahan” Bai’ al-Istishna’ dengan penjelasan berikut.
Menurut Mazhab Hanafi, bai’ al-istishna’termasuk akad yang di larang karena bertentangan dengan semangat bai’secara qiyas. Mereka mendasarkan kepada argumentasi bahwa pokok kontrak penjual harus ada dan dimiliki oleh penjual, Sedangkan dalam Istishna’, pokok kontrak itu belum ada atau tidak di miliki penjual. Meskipun demikian, Mazhab Hanafi Menyetujui kontrak Istishna’ atas dasar Istihsan karena alasan-alasan berikut ini.[7]
a.       Masyarakat telah mempraktekkan bai’ al-Istishna’ secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan bai’ al-istishna sebagai kasus ijma’ atau konsensus umum.
b.      Di dalam Syariah di mungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma’ ulama,
c.       Keberadaan bai’ al-istishna’ di dasarkan atas kebutuhan masyarakat. Banyak orang seringkali memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka
d.      cenderung untuk melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk mereka.
e.       Bai’ al-istishna’ sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah.
Sebagian Fuqaha kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga terjadinya kemungkinan perselisihan atas jenis dan kualitas suatu barang dapat di minimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang tersebut.[8]

3.       Rukun dan Syarat al-Istishna’
Pada prinsipnya bai’ al-istishna’ adalah sama dengan bai’ as-salam. Maka rukun dan syarat istishna’  mengikuti bai’ as-salam.  Hanya saja pada bai’ al-istishna’  pembayaran tidak dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan  waktu tertentu penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya barang pada umumnya.  Misal : Memesan rumah, maka tidak bisa dipastikan kapan bangunannya selesai.
Ø  Rukun Istishna
1)      Pelaksanaan bai’ al-istishna’ harus memenuhi sejumlah rukun berikut ini.
2)      muslam atau pembeli
3)      muslam ilaih atau penjual
4)      modal atau uang
5)      muslam fiihi

Ø  Syarat Bai’ al-istishna’
Di samping segenap rukun harus terpenuhi, bai’ al-istishna’ juga mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Di bawah ini akan di uraikan di antara dua rukun terpenting, yaitu modal dan barang.
a)      Modal Transaksi Bai al-istishna’
1.       Modal Harus di ketahui.
2.      Penerimaan pembayaran salam.
b)       Al-muslam fiihi (Barang)
1)      Harus spesifik dan dapat di akui sebagai utang
2)      Harus bisa di identifikasi secara jelas
3)      Penyerahan barang di lakukan di kemudian hari
4)      Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan barang harus di tunda pada suatu waktu kemudian, tetapi mazhab syafi’i membolehkan penyerahan segera.
5)      Boleh menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyrahan barang.
6)      Tempat penyerahan.
7)      Penggantian muslam fiihi dengan barang lain.


4.      CONTOH
Sebuah perusahaan konveksi meminta pembiayaan untuk pembuatan kostum tim sepakbola sebesar Rp 20juta. Produksi ini akan dibayar oleh pemesannya dua bulan yang akan datang. Harga sepasang kostum biasanya Rp 4.000,00, sedangkan perusahaan itu bisa menjual pada bank dengan harga Rp 38.000,00. Berapa keuntungan yang didapatkan bank?
Dalam kasus ini, produsen tidak ingin diketahui modal pokok pembuatan kostum. Ia hanya ingin memberikan untung sebesar Rp 2.000,00 per kostum atau sekitar Rp 1juta (Rp 20juta/Rp 38.000,00 X Rp 2.000,00) atau 5% dari modal. Bank bisa menawar lebih lanjut agar kostum itu lebih murah dan dijual kepada pembeli dengan harga pasar.

C.    Perbedaan antara Salam dan Istishna’
Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama dengan salam, yakni jual beli sesuatu yang belum ada pada saat akad berlangsung (bay’ al-ma’dum). Menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara salam dengan istisna’, yaitu :
Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat akad berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan pada saat akad berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.
salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula, sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak bertanggungjawab.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir Indonesia mendefinisikan istisna’ sebagai akad antara pemesan dengan pembuat barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli suatu barang yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam istisna’, bahan baku dan pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika bahan baku di sediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah.[9]






D.    Perbandingan Antara Bai’ as-Salam dan bai’ al-Istishna’.
SUBJEK
SALAM
ISTISHNA
ATURAN DAN KETERANGAN
Pokok Kontrak
Muslam Fiihi
Mashnu’
Barang di tangguhkan dengan spesifikasi.
Harga
Di bayar saat kontrak
Bisa saat kontrak, bisa di angsur, bisa dikemudian hari
Cara penyelesaian pembayaran merupakan perbedaan utama antara salam dan istishna’.
Sifat Kontrak
Mengikat secara asli (thabi’i)
Mengikat secara ikutan (taba’i)
Salam mengikat semua pihak sejak semula, sedangkan istishna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.
Kontrak Pararel
Salam Pararel
Istishna’ Pararel
Baik salam pararel maupun istishna’ pararel sah asalkan kedua kontrak secara hukum adalah terpisah.

























                                                                BAB III
                                                             PENUTUP
KESIMPULAN
Salam adalah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda,  pembayaran modal lebih awal. Rukun dan syarat jual beli as-salam yaitu Mu’aqidain yang meliputi Pembeli dan penjual, Obyek transaksi, Sighat ‘ijab qabul, dan alat tukar.
Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan dimana bahan baku dan biaya produksi menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan di muka, tengah atau akhir. Rukun dan syarat istishna’  mengikuti bai’ as-salam.  Hanya saja pada bai’ al-istishna’  pembayaran tidak dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan  waktu tertentu penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya barang pada umumnya.
Perbedaan salam dan istishna’ adalah cara penyelesaian pembayaran salam dilakukan diawal saat kontrak secara tunai dan cara pembayaran istishna’ tidak secara kontan bisa dilakukan di awal, tengah atau akhir.

SARAN
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah.
























                                                DAFTARPUSTAKA

Arifin, Zainul dkk. 2007. Pengantar Fiqih Mu’amalah. Bogor: LPPM Tazkia
Chairuman Pasaribu; Suhrawardi K. Lubis S.H, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), hlm. 48
DEPAG, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya, 2002
Hadi.Abdul, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya : Putra Media Nusantara, 2010), 100
Hidayat,Mohammad. 2010. An Introduction to THE SHARIA ECONOMIC. Jakarta: Zikrul Hakim
Ismail, Perbankan syariah, ( Jakarta : Kencana, 2011), hlm. 149-150
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani, 2001), hlm. 114
DEPAG, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya, 2002
Sayid Sabid, Fikih Sunnah, (Bandung : PT. Al Ma’arif, 1998), hlm. 111



[1] Abd. Hadi, Dasar-Dasar Hukum Ekonomi Islam, (Surabaya : Putra Media Nusantara, 2010), 100
[2] Chairuman Pasaribu; Suhrawardi K. Lubis S.H, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), hlm. 48
[3] DEPAG, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya, 2002
[4] Sayid Sabid, Fikih Sunnah, (Bandung : PT. Al Ma’arif, 1998), hlm. 111
[5] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema Insani, 2001), hlm. 114
[6] Ismail, Perbankan syariah, ( Jakarta : Kencana, 2011), hlm. 149-150
[7] Arifin, Zainul dkk. 2007. Pengantar Fiqih Mu’amalah. Bogor: LPPM Tazkia

[8] Hidayat, Mohamad. 2010. An Introduction to THE SHARIA ECONOMIC. Jakarta: Zikrul Hakim
[9] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar