BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah
dibahas para ulama dalam fiqih muamalah islamiah terbilang sangat banyak.
Jumlahnya bisa mencapai belasan bahkan sampai puluhan. Sungguhpun demikian,
dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual beli yang telah dikembangkan
sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam
perbankan syariah yaitu murabahah, as-salam, dan al-istishna’.
Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah
antara lain adalah penghimpunan dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan
menjamin atas resiko serta kegiatan-kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah,
prinsip jual beli dilakukan melalui perpindahan kepemilikan barang. Tingkat
keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi salah satu bagian harga atas
barang yang dijual. Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk
pembayarannya dan waktu penyerahan barang.
Pada makalah ini akan dibahas jenis
pembiayaan salam dan istishna’. Jual beli dengan salam dan istishna’ ini,
akadnya sangat jelas, barangnya jelas, dan keamanannya juga jelas. Maka jual
beli salam dan istishna’ wajar jika masih banyak diminati.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa pengertian As-Sallam dan Istishna ?
2. Apa rukun dan syarat As-Sallam dan Istishna
?
3. Apa Perbedaan As-Sallam dan Istishna ?
C. TUJUAN
PEMBAHASAN
Agar pembaca bisa memahami tentang akad As-Sallam dan
Akad Istishna secara lebih luas ,serta dapat membedakan keduannya.Karena banyak
yang mengatakan bahwa kedua akad ini sama.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. AS-SALLAM
1.
Pengertian dan Dasar Hukumnya
Secara bahasa as-salam atau as-salaf
berarti pesanan. Secara terminologis para ulama mendefinisikannya dengan:
“Menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau menjual suatu (barang)
yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal, sedangkan barangnya
diserahkan kemudian hari”.
Dalam perjanjian As-Salam ini pihak pembeli barang disebut As-Salam
(yang menyerahkan), pihak penjual disebut Al-Muslamuilaihi (orang yang
diserahi), dan barang yang dijadikan objek disebut Al-Muslam Fiih (barang yang
akan diserahkan), serta harga barang yang diserahkan kepada penjual disebut
Ra’su Maalis Salam (modal As-Salam).
Adapun yang menjadi dasar hukum pembolehan
perjanjian jual beli dengan pembayaran yang didahulukan ini disandarkan pada
surat Al-Baqarah ayat 282:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya…”
Disamping itu terdapat juga ketentuan hadis
yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang artinya berbunyi :
“Siapa yang melakukan salaf, hendaklah
melaksanakannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai
dengan batas waktu tertentu.
Dari ketentuan hukum diatas, jelas terlihat
tentang pembolehan pembayaran yang didahulukan. Pembiayan salam diutamakan
untuk pembelian dan penjualan hasil produksi pertanian, perkebunan, dan
peternakan. Petani dan peternak pada umumnya membutuhkan dana untuk modal awal
dalam melaksanakan aktivitasnya,sehingga bank syariah dapat memberikan dana
pada saat akad.Setelah hasil panen,maka nasabah akan membayar salam kembali.
Dengan melakukan transaksi salam,maka petani dan peternak dapat mengambil
manfaat tersebut.
2. Rukun
As-Sallam
1) Mu’aqidain : Pembeli (muslam) dan penjual ( muslam ilaih)
a.Cakap bertindak hukum ( baligh dan
berakal sehat).
b.Muhtar ( tidak dibawah tekanan/paksaan).
2) Obyek transaksi ( muslam fih):
a.Dinyatakan jelas jenisnya
b.Jelas sifat-sifatnya
c.Jelas ukurannya
d.Jelas batas waktunya
e.Tempat penyerahan dinyatakan secara jelas
3) Sighat ‘ijab dan qabul
4) Alat tukar/harga
a.Jelas dan terukur
b. Disetujui kedua pihak
c. Diserahkan tunai/cash ketika akad
berlangsung.
3. Syarat As-Sallam
a. Pembayaran dilakukan dimuka (kontan).
b. Dilakukan pada barang-barang yang memiliki criteria
jelas.
c. Penyebutan criteria barang dilakukan saat
akad dilangsungkan.
d. Penentuan tempo penyerahan barang pesanan.
e. Barang pesanan tersedia pada saat jatuh
tempo.
f. Barang Pesanan Adalah Barang yang
Pengadaannya Dijamin Pengusaha.
4. CONTOH
Seorang petani memiliki 2 hektar sawah
mengajukan pembiayaan ke bank sebesar Rp 5.000.000,00. Penghasilan yang didapat
dari sawah biasanya berjumlah 4 ton dan beras dijual dengan harga Rp 2.000,00
per kg. ia akan menyerahkan beras 3 bulan lagi. Bagaimana perhitungannya?
Bank akan mendapatkan beras Rp 5juta dibagi
Rp 2.000,00 per kg = 2.5 ton. Setelah melalui negoisasi bank menjual kembali
pada pihak ke 3 dengan harga Rp 2.400,00 per kg yang berarti total dana yang
kembali sebesar Rp 6juta. Sehingga bank mendapat keungtungan 20%.
B. ISTISHNA
1. Pengertian
Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan
antara pihak produsen / pengrajin / penerima pesanan ( shani’) dengan
pemesan ( mustashni’) untuk membuat suatu produk barang dengan
spesifikasi tertentu (mashnu’) dimana bahan baku dan biaya produksi
menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa dilakukan
di muka, tengah atau akhir.
Secara umum landasan syariah yang berlaku
pada bai’ as-salam juga berlaku pada bai’ al-istishna’. Menurut
Hanafi, bai’ al-istishna’ termasuk akad yang dilarang karena
mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan
dimiliki oleh penjual, sedangkan dalam istishna’, pokok kontrak itu
belum ada atau tidak dimiliki penjual. Namun mazhab Hanafi menyutui kontrak istishna’
atas dasar istishan.
Tujuan istishna’ umumnya diterapkan
pada pembiayaan untuk pembangunan proyek seperti pembangunan proyek perumahan,
komunikasi, listrik, gedung sekolah, pertambangan, dan sarana jalan. Pembiayaan
yang sesuai adalah pembiyaan investasi.
2. Dasar Hukum
Istishna
Hukum transaksibai’ as-salam terdapat dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadits.
a. Al-Qur’an
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang tidak di tentukan, hendaklah
kamu menuliskannya….”(al-Baqarah:282)
Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas
menjelaskan keterkaitan ayat tersebut tentang transaksi bai’ as-salam. Hal ini
tampak jelas dari ungkapan beliau, “saya bersaksi bahwa salaf (salam) yang di
jamin untuk jangka waktu tertentu telah di halalkan oleh Allah pada kitab-Nya
dan di izinkan-Nya.” Ia lalu membaca ayat tersebut diatas.
b. Al-hadits
ﻣﻥ ﺍﺳﻟﻑ ﻓﻲ ﺷﻲ ﻓﻓﻲ ﻛﯿﻝ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ ﻭ ﻭ ﺯ ﻦ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ
ﺍ ﻟﻰ ﺍ ﺟﻞ ﻣﻌﻟﻭ ﻡ
“Barangsiapa yang melakukan salaf (salam),
hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula
untuk jangka waktu yang di ketahui”
Dari Suhaib r.a bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Tiga hal yang di dalamnya terdapat
keberkahan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur
gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk di jual.”(HR Ibnu
Majah)
Mengingat Bai’ Al-Istishna merupakan
lanjutan dari Bai’ as-salam maka secara umum dasar hukum yang berlaku pada Bai’
as-salam juga berlaku pada Bai’ al-Istishna’.Sungguhpun demikian para ulama
membahas lebih lanjut “keabsahan” Bai’ al-Istishna’ dengan penjelasan berikut.
Menurut Mazhab Hanafi, bai’
al-istishna’termasuk akad yang di larang karena bertentangan dengan semangat
bai’secara qiyas. Mereka mendasarkan kepada argumentasi bahwa pokok kontrak
penjual harus ada dan dimiliki oleh penjual, Sedangkan dalam Istishna’, pokok
kontrak itu belum ada atau tidak di miliki penjual. Meskipun demikian, Mazhab
Hanafi Menyetujui kontrak Istishna’ atas dasar Istihsan karena alasan-alasan
berikut ini.
a. Masyarakat telah mempraktekkan bai’
al-Istishna’ secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal
demikian menjadikan bai’ al-istishna sebagai kasus ijma’ atau konsensus umum.
b. Di dalam Syariah di mungkinkan adanya
penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma’ ulama,
c. Keberadaan bai’ al-istishna’ di dasarkan
atas kebutuhan masyarakat. Banyak orang seringkali memerlukan barang yang tidak
tersedia di pasar sehingga mereka
d. cenderung untuk melakukan kontrak agar orang
lain membuatkan barang untuk mereka.
e. Bai’ al-istishna’ sesuai dengan aturan umum
mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan
syariah.
Sebagian Fuqaha kontemporer berpendapat
bahwa bai’ al-istishna’ adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah
karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang
tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga terjadinya kemungkinan perselisihan
atas jenis dan kualitas suatu barang dapat di minimalkan dengan pencantuman
spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang tersebut.
3. Rukun
dan Syarat al-Istishna’
Pada
prinsipnya bai’ al-istishna’ adalah sama dengan bai’ as-salam.
Maka rukun dan syarat istishna’ mengikuti bai’ as-salam. Hanya
saja pada bai’ al-istishna’ pembayaran tidak dilakukan secara
kontan dan tidak adanya penentuan waktu tertentu penyerahan barang,
tetapi tergantung selesainya barang pada umumnya. Misal : Memesan rumah,
maka tidak bisa dipastikan kapan bangunannya selesai.
Ø Rukun
Istishna
1) Pelaksanaan bai’ al-istishna’ harus
memenuhi sejumlah rukun berikut ini.
2) muslam atau pembeli
3) muslam ilaih atau penjual
4) modal atau uang
5) muslam fiihi
Ø Syarat Bai’ al-istishna’
Di samping segenap rukun harus terpenuhi, bai’ al-istishna’ juga
mengharuskan tercukupinya segenap syarat pada masing-masing rukun. Di bawah ini
akan di uraikan di antara dua rukun terpenting, yaitu modal dan barang.
a) Modal Transaksi Bai al-istishna’
1.
Modal Harus di ketahui.
2. Penerimaan
pembayaran salam.
b) Al-muslam fiihi (Barang)
1) Harus spesifik dan dapat di akui sebagai
utang
2) Harus bisa di identifikasi secara jelas
3) Penyerahan barang di lakukan di kemudian
hari
4) Kebanyakan ulama mensyaratkan penyerahan
barang harus di tunda pada suatu waktu kemudian, tetapi mazhab syafi’i
membolehkan penyerahan segera.
5) Boleh menentukan tanggal waktu di masa yang
akan datang untuk penyrahan barang.
6) Tempat penyerahan.
7) Penggantian muslam fiihi dengan barang
lain.
4. CONTOH
Sebuah perusahaan konveksi meminta
pembiayaan untuk pembuatan kostum tim sepakbola sebesar Rp 20juta. Produksi ini
akan dibayar oleh pemesannya dua bulan yang akan datang. Harga sepasang kostum
biasanya Rp 4.000,00, sedangkan perusahaan itu bisa menjual pada bank dengan
harga Rp 38.000,00. Berapa keuntungan yang didapatkan bank?
Dalam kasus ini, produsen tidak ingin
diketahui modal pokok pembuatan kostum. Ia hanya ingin memberikan untung
sebesar Rp 2.000,00 per kostum atau sekitar Rp 1juta (Rp 20juta/Rp 38.000,00 X
Rp 2.000,00) atau 5% dari modal. Bank bisa menawar lebih lanjut agar kostum itu
lebih murah dan dijual kepada pembeli dengan harga pasar.
C. Perbedaan
antara Salam dan Istishna’
Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’
itu sama dengan salam, yakni jual beli sesuatu yang belum ada pada saat akad
berlangsung (bay’ al-ma’dum). Menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan
penting antara salam dengan istisna’, yaitu :
Cara pembayaran dalam salam harus di
lakukan pada saat akad berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan
pada saat akad berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.
salam mengikat para pihak yang mengadakan
akad sejak semula, sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi
produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak
bertanggungjawab.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut
Bankir Indonesia mendefinisikan istisna’ sebagai akad antara pemesan dengan
pembuat barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli
suatu barang yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam istisna’, bahan
baku dan pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika bahan
baku di sediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah.
D. Perbandingan
Antara Bai’ as-Salam dan bai’ al-Istishna’.
SUBJEK
|
SALAM
|
ISTISHNA
|
ATURAN DAN KETERANGAN
|
Pokok Kontrak
|
Muslam Fiihi
|
Mashnu’
|
Barang di tangguhkan dengan spesifikasi.
|
Harga
|
Di bayar saat kontrak
|
Bisa saat kontrak, bisa di angsur, bisa
dikemudian hari
|
Cara penyelesaian pembayaran merupakan
perbedaan utama antara salam dan istishna’.
|
Sifat Kontrak
|
Mengikat secara asli (thabi’i)
|
Mengikat secara ikutan (taba’i)
|
Salam mengikat semua pihak sejak semula,
sedangkan istishna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak
di tinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.
|
Kontrak Pararel
|
Salam Pararel
|
Istishna’ Pararel
|
Baik salam pararel maupun istishna’
pararel sah asalkan kedua kontrak secara hukum adalah terpisah.
|
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Salam adalah menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda,
pembayaran modal lebih awal. Rukun dan syarat jual beli as-salam yaitu
Mu’aqidain yang meliputi Pembeli dan penjual, Obyek transaksi, Sighat ‘ijab
qabul, dan alat tukar.
Al-Istishna’ adalah akad jual beli pesanan dimana bahan baku dan biaya
produksi menjadi tanggungjawab pihak produsen sedangkan sistem pembayaran bisa
dilakukan di muka, tengah atau akhir. Rukun dan syarat istishna’ mengikuti
bai’ as-salam. Hanya saja pada bai’ al-istishna’ pembayaran
tidak dilakukan secara kontan dan tidak adanya penentuan waktu tertentu
penyerahan barang, tetapi tergantung selesainya barang pada umumnya.
Perbedaan salam dan istishna’ adalah cara penyelesaian pembayaran salam
dilakukan diawal saat kontrak secara tunai dan cara pembayaran istishna’ tidak
secara kontan bisa dilakukan di awal, tengah atau akhir.
SARAN
Penulis
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa
dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang
sifatnya membangun demi perbaikan makalah.
DAFTARPUSTAKA
Arifin, Zainul dkk.
2007. Pengantar Fiqih Mu’amalah. Bogor: LPPM Tazkia
Muhammad
Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, (Jakarta : Gema
Insani, 2001), hlm. 114
Arifin, Zainul dkk. 2007. Pengantar Fiqih Mu’amalah. Bogor: LPPM
Tazkia