wawancara kaum marjina l
oleh PRISELIA DIAN ANGGRAINI
Keberadaan
kaum waria terlampau sering luput dari ingatan kita. Gerak sejarah kita,
disadari atau tidak diam-diam menyelipkan berbagai tindakan diskriminatif dan
represif terhadap kaum waria. Problem utama kaum waria sebenarnya adalah perbedaan
gaya seksual yang mengakibatkan kesenjangan identitas gender. Jika selama ini
kaum hawa sebagai the second sex (istilah Simone de Beauvoir) maka kaum waria
sebagai ‘the thrid sex’ (‘gender ketiga’) nasibnya justru jauh lebih parah dari
itu. Mereka ditindas oleh lelaki dan perempuan sekaligus.Problema kesenjangan
gender yang dialami kaum waria kemudian merembet ke berbagai hal; melahirkan
aneka masalah baru yang lebih akut. Dalam persinggungan keseharian dengan
masyarakat, kesenjangan gender menyebabkan kaum waria dipenuhi stigma-stigma
buruk. Muncullah kemudian cacian, hinaan dari masyarakat yang ujung-ujungya
adalah diskriminasi hak-hak hidup kaum waria.
Padahal sebagai sesama anak Adam, kaum waria sudah seharusnya memiliki hak yang sama dengan kaum non-waria. Mereka berhak mendapatkan kesamaan hak asasi (equality of human rights) dalam berbagai bentuknya; fasilitas-fasilitas hidup yang layak, kesempatan mendapat pekerjaaan, pendidikan, hak politik, akomodasi, termasuk hak-hak psikologis seperti perhatian, kasih sayang, toleransi.
Hak asasi waria sebagai manusia juga terlindungi secara hukum. UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 5 Ayat (3), "...berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya."
Namun lihatah, betapa tiap malam mereka kelayapan menjajakan diri demi sesuap nasi. Dan kemiskinan serta rendahnya keadaan ekonomi memang selalu menjadi faktor dominan dari munculnya aktivitas budaya martabat yang merendahkan derajat dan martabat manusia, prostitusi, mulai dari prostitusi heteroseksual sampai prostitusi anomalis. Dan aktivitas komersil seksualitas kaum waria termasuk pada kategori kedua. Psikologi analitis mengakui adanya dimensi keperempuanan pada diri laki-laki (anima) dan dimensi batin kelaki-lakian dalam tubuh perempuan (animus).
Padahal sebagai sesama anak Adam, kaum waria sudah seharusnya memiliki hak yang sama dengan kaum non-waria. Mereka berhak mendapatkan kesamaan hak asasi (equality of human rights) dalam berbagai bentuknya; fasilitas-fasilitas hidup yang layak, kesempatan mendapat pekerjaaan, pendidikan, hak politik, akomodasi, termasuk hak-hak psikologis seperti perhatian, kasih sayang, toleransi.
Hak asasi waria sebagai manusia juga terlindungi secara hukum. UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 5 Ayat (3), "...berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya."
Namun lihatah, betapa tiap malam mereka kelayapan menjajakan diri demi sesuap nasi. Dan kemiskinan serta rendahnya keadaan ekonomi memang selalu menjadi faktor dominan dari munculnya aktivitas budaya martabat yang merendahkan derajat dan martabat manusia, prostitusi, mulai dari prostitusi heteroseksual sampai prostitusi anomalis. Dan aktivitas komersil seksualitas kaum waria termasuk pada kategori kedua. Psikologi analitis mengakui adanya dimensi keperempuanan pada diri laki-laki (anima) dan dimensi batin kelaki-lakian dalam tubuh perempuan (animus).
Realita di lingkungan saya ,waria
sangat terpinggirkan dalam hal bersosialisasi .Waria di sekitar saya juga
kurang bergaul karena malu dengan keadaanya sendiri .Saya memiliki teman yang
juga seorang waria tapi dia juga memiliki pekerjaan yang jauh dari
kepribadiaannya yang seorang waria seperti itu .Saya berhasil mewawancarai dia
meskipun dia teman saya tapi dia jarang menceritakan kehidupannya .Dari jaman
dia sekolah sifat dan kelakuaanya memang dominan feminim tapi itu tidak
mencolok karena dia sekolah di SMK dan mengambil jurusan kecantikan rambut
,jadi otomatis mayoritas temannya adalah wanita .Sekolahnya bertetangga dengan
sekolah saya .Saya bertemu dia disaat ada acara diesnatalis di sekolah
saya.Sekarang dia setelah lulus awalnya bekerja di toko baju sejenis distro
yang notabene yang dijual adalah baju laki-laki.Saya kira setelah dia bekerja
disitu dengan lingkungan yang mendukung dia menjadi laki-laki tulen dia akan
sembuh tapi malah menjadi semakin parah sifat
feminimnya itu.Dia bekerja di toko baju itu hanya bertahan 3 bulan
kemudian dia bekerja menjadi seles sebuah diller .pada awalnya dia sebagaiseles
keliling tapi disinilah mulanya .Saat ada even besar dia diminta menjadi SPG
yang dia lakukan ialah dia berdandan layaknya seperti wanita SPG pada umumnya .Memakai
pakaian sexi dan memakai rok mini super mini ,serta tidak lupa sepatu dengan
hak tinggi .Make up tebal dengan bibir yang merah merona,rambut panjang blonde
serta aksesoris yang blink-blink.Banyak yang mengira bahwa dia itu adalah
wanita padahal dia adalah laki-laki .Setiap event di kantornya dia selalu berpenampilan seperti
itu .Awalnya keluarga serta kerabat maupun tetangganya tidak terlalu
memperdulikan sikap serta penampilannya .Namun lama kelamaan keluarganya pun
risih dengan semua yang dilakukannya .Karena dia bukan hanya bekerja sebagai
seles saja tapi sebagai PSK waria dan dia biasanya mangkal didaerah Ngujang .Biasanya
dia berangkat bekerja sebagai seles sebuah diller dengan pakaian pria ,Namun
setelah dia pulang dari bekerja sebagai selles diller .Dia bersiap-siap
mengganti pakaian nya sebagai seorang waria .Sebelum dia bekerja sebagai waria
dia sebelumnya pergi ke suatu tempat yang tidak lain adalah kos temannya sesama
waria .Disana dia berdandan sebagai layaknya seorang wanita .Sebenarnya dia
tidak mau bekerja seperti ini namun keadaan danekonomi yang harus dipenuhi yang
memaksa dia bekerjaseperti ini.Semua keluarga terutama orangtuanya sangatlah
sedih dengan keadaan dia.Namun mau bagaimana lagi .Dia harus bekerja keras
untuk memenuhi kebutuhan keluarganya .Ibunya yang Buta dan ayahnya yang sudah
tua tidak akan mampu bekerja.Awalnya dia berjanji untuk berhenti bekerjasebaga
waria namun ,dia berbohong .Dia tetap saja bekerja sebagai waria ,tetangga nya
pun sangat membenci dia katanya dia itu
menjijikan padahal dia begitu untuk keluarganya .Pekerjaan dia yang sebagai
pekerja seks komersial yang setiap malam mangkal di pinggir jalan sesungguhnya
sangatlah memalukan untuk para sebagian orang yang selalu bersikap seenaknya
terhadap kaumnya . Sebenarnya
waria itu juga manusia yang diciptakan oleh Tuhan sebagai mahkluk Allah .Kaum
waria yang notabene jarang bersosialisasi kemudian bergabung dalam ruang
komunitas yang marginal, teralienasi dan terisolasikan. Lahirnya ruang komunitas
mereka merupakan pertanda dari ketimpangan sosial yang semakin mendidih.
Sebagian besar kaum waria yang terbuang di jalanan berubah menjadi sekelompok
orang yang rentan menimbulkan chaos social, mereka menjadi garang, mudah
tersinggung, dan rawan menimbulkan kriminalitas dalam persinggungannya dengan
orang lain, apalagi terhadap yang berada di fihak luar komunitas mereka.
Disparitas sosial telah menambah retakannya sekali lagi.
Watak kaum waria jalanan yang agresif itu sebenarnya merupakan timbal-balik dari ketidakdewasaan masyarakat dalam menyikapi keberadaan mereka. Jangankan untuk menerima perbedaan, memahami perbedaan pun masyarakat kita belum bisa. Jika sudah demikian, maka tak heran jika masyarakat kita nihil dari kemampuan menciptakan solusi, yang muncul kemudian adalah sikap-sikap reaktif dan emosional tadi, mengejek, merendahkan, mengisolasikan adalah tiga komponen dari lingkaran setan ketimpangan sosial.
Lagipula, fenomena ke-waria-an tidak sesederhana seperti yang pada umumnya kita bayangkan. Perlu pendekatan yang kompherensif dan multi-persfektif sehingga kasus ke-wariaan bisa difahami dalam sisinya yang paling substansial. Disamping kemudian dapat dicari berbagai solusi yang efektif dan reposisi kaum waria demi mengembalikan harmonitas inter-gender dalam tatanan masyarakat kita.
Waria, bencong, banci, dan wadam adalah sebutan untuk orang (laki-laki atau perempuan) yang berpakaian atau berbicara sebaliknya tidak sesuai dengan kelaminnya. Menurut pakar pendidikan Kartini Kartono, waria merupakan seseorang
yang secara fisik mempunyai jenis kelamin pria, tetapi berperasaan dan bertingkah laku seperti seorang wanita, yang dalam bahasa psikologis disebut dengan istilah transeksual, yaitu gejala pada seseorang yang merasa dirinya memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya.
Di dalam masyarakat juga di kenal dengan istilah homo atau gay. Kemudian timbul pertanyaan apakah waria dan gay itu sama. Menurut Kemala Atmojo didalam bukunya Kami Bukan Lelaki dijelaskan bahwa waria dan gay itu berbeda. Seorang gay, umumnya, tidak merasa perlu ber-make-up dan berpakaian seperti wanita. Kemudian dalam melakukan hubungan seks, seorang gay bisa bertindak sebagi "laki-laki" atau "wanita". Tetapi tidak demikian halnya dengan seorang banci. Dia merasa perlu ber-make-up dan berpakaian seperti wanita.
Dan, dalam melakukan hubungan seks, seorang banci "tidak bisa" bertindak sebagai laki-laki. Waria-waria ini biasa kita temui di salon-salon, sebagai penata rambut dan rias wajah. Mereka juga ada yang berprofesi sebagai juru masak, entertainer yang sukses dan sebagainya yang berkaitan dengan aktivitas yang biasa dilakukan oleh wanita pada umumnya. Tetapi mereka juga biasa ditemui di perempatan lampu merah, bekerja sebagai pengamen. Dan diantara mereka juga banyak yang melakukan prostitusi dengan alasan yang berbeda-beda.
Watak kaum waria jalanan yang agresif itu sebenarnya merupakan timbal-balik dari ketidakdewasaan masyarakat dalam menyikapi keberadaan mereka. Jangankan untuk menerima perbedaan, memahami perbedaan pun masyarakat kita belum bisa. Jika sudah demikian, maka tak heran jika masyarakat kita nihil dari kemampuan menciptakan solusi, yang muncul kemudian adalah sikap-sikap reaktif dan emosional tadi, mengejek, merendahkan, mengisolasikan adalah tiga komponen dari lingkaran setan ketimpangan sosial.
Lagipula, fenomena ke-waria-an tidak sesederhana seperti yang pada umumnya kita bayangkan. Perlu pendekatan yang kompherensif dan multi-persfektif sehingga kasus ke-wariaan bisa difahami dalam sisinya yang paling substansial. Disamping kemudian dapat dicari berbagai solusi yang efektif dan reposisi kaum waria demi mengembalikan harmonitas inter-gender dalam tatanan masyarakat kita.
Waria, bencong, banci, dan wadam adalah sebutan untuk orang (laki-laki atau perempuan) yang berpakaian atau berbicara sebaliknya tidak sesuai dengan kelaminnya. Menurut pakar pendidikan Kartini Kartono, waria merupakan seseorang
yang secara fisik mempunyai jenis kelamin pria, tetapi berperasaan dan bertingkah laku seperti seorang wanita, yang dalam bahasa psikologis disebut dengan istilah transeksual, yaitu gejala pada seseorang yang merasa dirinya memiliki seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya.
Di dalam masyarakat juga di kenal dengan istilah homo atau gay. Kemudian timbul pertanyaan apakah waria dan gay itu sama. Menurut Kemala Atmojo didalam bukunya Kami Bukan Lelaki dijelaskan bahwa waria dan gay itu berbeda. Seorang gay, umumnya, tidak merasa perlu ber-make-up dan berpakaian seperti wanita. Kemudian dalam melakukan hubungan seks, seorang gay bisa bertindak sebagi "laki-laki" atau "wanita". Tetapi tidak demikian halnya dengan seorang banci. Dia merasa perlu ber-make-up dan berpakaian seperti wanita.
Dan, dalam melakukan hubungan seks, seorang banci "tidak bisa" bertindak sebagai laki-laki. Waria-waria ini biasa kita temui di salon-salon, sebagai penata rambut dan rias wajah. Mereka juga ada yang berprofesi sebagai juru masak, entertainer yang sukses dan sebagainya yang berkaitan dengan aktivitas yang biasa dilakukan oleh wanita pada umumnya. Tetapi mereka juga biasa ditemui di perempatan lampu merah, bekerja sebagai pengamen. Dan diantara mereka juga banyak yang melakukan prostitusi dengan alasan yang berbeda-beda.